18/03/18

J A R A K



“Aku mencintaimu. Itulah sebabnya aku tak pernah berhenti mendoakanmu.”
(Sapardi Djoko Damono).

Apakah menjauh selalu menyelamatkan. Membuat sekaligus menciptakan mimpi-mimpi baru di masa depan. Kemudian kita jadi sepasang manusia yang saling mengupayakan yang terbaik. Kemudian kita jadi sepasang makhluk-Nya yang meletakkan semua harapan pada doa-doa. Kita jadi dua kali lebih tekun berdoa sekaligus mendoakan yang terbaik.

Kita jadi makin istiqomah pada ibadah kita masing-masing.

Pada kondisi seperti ini, harusnya aku banyak-banyak berterima kasih padamu. Kamu yang membawaku sampai titik ini. Perjalananku makin bersemangat karenamu. Jika ikatan yang sama-sama kita yakini ini ialah reaksi kimia, maka ikatan ini sejatinya telah menciptakan senyawa baru dengan kekuatan baru.

“Kamu berlebihan.”

Protesmu kala itu.

“Tidak sama sekali. Bahkan harusnya ia lebih dari sekadar kata-kata. Kamu lebih dari sekadar kata-kata.”

Aku balik memprotesmu.

Kemudian pada titik paling nyaman ini, aku harus memutuskan untuk memperbesar jarak. Jarak yang kuharap hanya fisik, tapi tidak dengan hati dan perasaan kita. Kata kebanyakan orang, boleh jauh di mata, namun tidak dengan hati, ia harus dekat, bahkan semakin dekat.

Beberapa waktu lalu, aku memutuskan untuk menuntut ilmu di Negeri yang tidak hanya seberang, yang tidak hanya terpisah oleh satu selat atau tanjung saja. Namun terpisah ribuan kilometer. Terpisah ratusan kota. Puluhan negara. Kita terpisah di dua negeri dengan beda musim juga beda waktu.

Walaupun awalnya aku ragu untuk mengatakannya padamu. Takutnya, kamu tak terima. Kamu protes. Bahkan yang juga kukhawatirkan ialah kamu memintaku untuk menghentikan semuanya.

Aku hampir pergi, ke Negeri Eropa.

“Sejauh itu?”

Kamu kemudian menyeka air matamu. Menyembunyikan namun gagal. Ia menetes tak beraturan. Kamu menghamburkan badanmu ke arahku. Kamu menangis.

Aku remuk. Keberanianku hilang bahkan untuk menjelaskan yang terbaik. Bahwa keputusan ini juga untuk kebaikan kita bersama.

Tuhan, adakah jalan lain selain kesedihan saat harus berpisah. Bisakah kita hanya mengenal kata bahagia saat perpisahan melanda. Jumpa yang bahagia, harusnya ditemani oleh perpisahan yang juga bahagia. Namun selalu saja, berpisah lebih mau berteman baik dengan air mata. Ia leleh. Ia cair. Kemudian kamu (dan juga aku) menjadi manusia paling sesenggukan hari itu. Sepuluh menit tanpa jeda untuk sekadar menghabiskan air mata. Meratapi kesedihan.

Di sisi lain, adakah cara yang lebih tepat untuk menjelaskan baik-baik padamu. Membuatmu lebih siap dengan segala hal yang ada di depan sana. Sejatinya, jalan yang akan kita tempuh tak selamanya mulus. Ada gunung di depan sana, ada ranjau, ada banyak rintangan yang mau tak mau harus kita hadapi. Bertahanlah. Dengan semua ini.

“Aku pergi, pasti kembali.”

Jawabku lirih.

Aku juga tak kuasa menahan air mata. Aku laki-laki, harusnya lebih tegar. Namun perpisahan tak pernah mau mengenal kamu laki-laki atau perempuan. Ia menjadikanmu lemah. Menjadikan kita makin tak berdaya.

Akhirnya, aku memutuskan untuk menjauh. Kali ini. Aku memutuskan untuk semakin percaya diri bahwa sejatinya manusia ialah kumpulan dari usaha-usaha dan doa-doa terbaik. Aku memantapkan diri untuk menuntut ilmu ke negeri yang bahkan belum pernah kukunjungi sebelumnya. Meninggalkan orang tua, meninggalkan orang-orang yang kucintai.

Dan meninggalkan kamu.

Aku memutuskan untuk menjauh. Aku sadar bahwa aku mencintaimu. Aku tengah menaruh harap padamu. Oleh sebab itu aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ketika aku tengah jatuh cinta pada seseorang, aku harus benar-benar menjaganya, menjaga semuanya hingga benar-benar siap untuk mendatangimu nanti. Menjadikan bagian dari hidupku. Namun bukan sekarang. Aku belum bisa menjemputmu saat ini. Bersabarlah. Bagiku, menjaga jarak seperti saat ini ialah keputusan yang amat tepat buatku.

Aku memutuskan untuk menepi dari hal-hal yang tak baik. Menjauh yang menyelamatkan. Aku jadi teringat oleh katamu waktu itu yang cukup khawatir dengan apa kata orang-orang tentang kita, tentang hubungan kita tentunya. Kalau kamu tahu, semoga niatan pergiku saat ini ialah untuk menyelamatkan ini semua. Membuat semuanya tetap pada jalannya. Membuat kamu lebih bisa menjalani hari-hari tanpa beban.

Satu lagi, aku takut kita semakin bebas di saat Tuhan belum mengizinkan kita jadi sepasang halal. Kemudian kita makin dekat, tak ada sekat. Bahkan, kamu tahu, keimananku sering goyah, aku sering tak istiqomah. Aku takut itu. Semoga kamu semakin paham alasanku pergi sesaat dari semuanya.

Ketika semuanya telah siap, ketika urusanku telah selesai, ketika kamu juga telah selesai dengan urusanmu, marilah kita jadi sepasang yang lebih dekat lagi. Kemudian kita kerjakan hal baru bersama-sama. Bersamamu tentunya.


Terima kasih sudah memahamiku. Aku juga tengah berupaya keras untuk memahamimu lebih baik lagi.


------------------------
-Ikrom Mustofa-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...