23/02/17

Lelaki Penggila Hujan yang Tiba-tiba Jadi Penakut



Apakah hujan selalu menentramkan? Menjadikan hati lebih baik-baik saja. Dada yang gemuruh oleh resah tiba-tiba jadi menerima tanpa syarat untuk segenap luka yang menganga. Hujan hampir selalu jadi obat bius luka perasaan yang kadang memar, kadang berdarah. Rintiknya melegakan, basahnya juga merasuk sukma-sukma yang sedang kosong pada jiwa-jiwa yang tengah berharap pada kondisi yang tak pernah ada usainya. Lalu, apakah hujan selalu menentramkan?

Apakah hujan selalu membuka kenangan-kenangan? Butiran-butirannya mirip memori penyimpanan berkapasitas besar. Hujan hari ini mampu merekam apa-apa yang ada pada hari ini, dan hujan-hujan lain suatu saat nanti yang akan memberitahumu kenangan hari ini. Ketika otak tak mampu menyimpan kenangan, ketika musik klasik tak sepenuhnya mampu membahasakan kenangan, maka hujanlah yang sering bertanggung jawab membuka kenangan-kenangan itu.

Panggil aku si penyuka hujan.

Aku menyukai hujan. Sejak lama. Walaupun aku tak pernah kuat berlama-lama berada di bawah hujan, namun diam-diam aku selalu memperhatikan hujan dari kejauhan. Menyukai tak harus bersama-sama dari dekat bukan? Dan aku menyukai hujan dari caranya. Caranya ia turun, caranya ia jatuh, dan caranya ia bermuara. Aku bahkan begitu mengagumi hujan dari caranya ia membuka banyak sekali ingatan lewat butir-butir airnya. Dan aku menikmatinya.

Waktu aku masih kecil, aku diajarkan untuk mempercayai bahwa hujan ialah rahmat dari-Nya. Sampai sekarang, bahkan ketika bukti-bukti itu semakin menguat dengan kajian ilmiah tentang hujan. Aku belajar banyak tentang jenis-jenis hujan. Padahal yang hanya ingin kutahu, hujan hanya satu macam, ialah hujan manis nan romantis. Itu saja.

Namun akhir-akhir ini, kalau kamu ingin tahu, aku tak begitu suka hujan. Padahal biasanya aku selalu memasang muka di tepian jendela yang sesekali disibak oleh gorden ketika hujan turun. Padahal aku yang biasanya berlama-lama berada di halte pusat kota untuk lebih leluasa menyaksikan hujan yang bebas jatuh pada aspal-aspal jalan.

Bisakah hujan melukai? Apakah jatuhnya tak selalu romantis? Apakah dalam satu waktu hujan selalu menyisakan duka mendalam?

Pertanyaan tentang hujan seketika bertabrakan dengan pertanyaanku tentangmu. Kemudian mereka menciptakan semacam bom atom yang siap meledak kapan saja. Menghunus pertahanan dengan pertanyaan menyudutkan terasa amat payah bagi seorang lelaki sepertiku, namun aku tak tahu bagaimana pendapatmu tentang hal ini. Bukankah perempuan punya banyak sekali cara untuk menjawab? Seperti hujan yang selalu punya cara membuka ingatan-ingatan pada manusia yang berbeda-beda.

Kali ini, jika hujan turun. Aku harus bersiap membuka ingatan-ingatan perih itu. Kenangan pahit yang masih hangat kurasakan bersamamu. Kalaupun aku alihkan pada ingatan lain yang harusnya menenangkan dan menyenangkan, pada akhirnya aku akan kembali terbawa pada ingatan tentangmu.
Kali ini, jika hujan turun. Tiba-tiba aku jadi manusia penakut. Pernahkah kamu mengkhawatirkan seseorang pada titik paling nadir? Ia tidak hanya jauh, namun ia berubah. Begitulah rasanya sekarang saat aku bertemu hujan-hujan ini. Hujan yang makin sering jatuh. Makin liar bersama ingatan yang makin menganga. Dan aku makin kerap menjumpainya.

Pada titik ini, aku kehilangan akal untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa kamu tengah baik-baik saja di sana. Prasangka baikku tiba-tiba menguap. Seperti debu-debu yang harus lenyap saat hujan menerpa tanah-tanah kering. Tinggal yang tersisa adalah prasangka tak baik. Tentangmu.

Dan aku makin mengkhawatirkanmu.

-Dalam Sketsa-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...