Beranalogi sesaat tentang arti amanah, kepercayaan, mandat,
atau apapun itu. Kali ini untuk mengungkapkannya, cukup berbicara sederhana
tentang berlayar di laut lepas dengan perahu motor. Keadaan pelabuhan yang
cukup stabil dengan tipe pasang surut normal, ombak dan gelombang yang tidak
terlalu besar, dan koloni kapal yang merapat sempurna membuat raga seakan tak
mau beranjak dari sana. Namun seiring deruan mesin kapal yang hendak kembali melaut
membuat adrenalin dan pekik semangat itu semakin membara untuk ikut berlayar di
dalamnya.
Di perjalanan, kita akan disuguhi dengan birunya laut dan
langit yang sejuk di ufuk sana, kita akan terlena dengan pegunungan yang
mengelilingi samudera, pulau-pulau kecil bak dewata, bahkan dengan kilauan
surya yang menghangatkan suasana. Namun jangan begitu puas dengan keindahan
maritim, karena berlayar ke lautan yang lebih jauh lagi dari daratan
membutuhkan perjuangan yang begitu besar. Kita harus sudah siap dengan terpaan
gelombang besar, ombak yang cukup kuat, gangguan organisme laut, bahkan dengan
hadirnya badai atau tsunami yang dapat mebolak-balikkan kapal yang kita
tumpangi.
Nah, hidup juga demikian. Kita cukup puas dengan masa kecil
yang kaya segalanya. Kasih sayang orang tua, curahan perhatian yang berlebihan
dari sanak saudara, hingga curahan materi yang tak ternilai harganya sudah
cukup banyak kita rasakan di masa tersebut. Tidak salah lagi kalau setiap orang
pasti sangat rindu dengan masa-masa tersebut bahkan tidak ingin melewatkan
memori di dalamnya.
Seiring hadirnya lingkungan yang juga penuh dengan anak
kecil seusia kita, membuat jiwa ini seakan merasuk sempurna ke raga-raga
mereka. Jadilah pola pikir kita sedikit berubah usai mengimitasi laku mereka. Keinginan
untuk mencari jati diri seiring bertambahnya usia, keinginan untuk lebih
mendewasakan diri atau semacamnya, hingga upaya untuk terus berkarya membuat
setiap orang begitu menikmati hidup. Hal itu semakin mendukung paradigma mereka
bahwa hidup itu memang indah dengan berbagai fasilitas yang ada.
Namun apa jadinya jika hari ini, dengan kedewasaan yang
sudah seharusnya terbangun dari jiwa setiap pemuda, namun malah melahirkan
kejenuhan yang tiada tara oleh berbagai problema yang ada. Amanah yang cukup
banyak dan terkadang menimbukan efek tidak konsisten, kepercayaan yang mungkin
terabaikkan, bahkan mandat yang malah menjadi beban, membuat sebagian diantara
kita merasa “down” dengan rihlah hidup ini. alih-alih, syukur pun terabaikkan
pula karena saking depresinya dengan pikulan amanah yang dirasa tidak wajar
lagi.
Hmm, bukankah saat ini kita telah berada di tengah lautan.
Ngaku gentle? Jangan pernah berfikir untuk kembali ke pelabuhan di mana kita
memulai ekspedisi ini. Wajar, bahkan sangat wajar andai deruan ombak, hempasan
gelombang, bahkan terjangan badai terus-menerus mengombang-ambingkan kapal
kita. Sekaranglah saatnya berfikir untuk
terus bergerak menuju samudera yang lebih dalam lagi, hingga kita merasakan
kembali adrenalin yang terpacu sempurna. Andai memang benar-benar tidak dapat
bergerak, buang jangkar ke dasar samudera, berdiamlah di antara dahsyatnya
badai melalui sekelumit tawwakalmu, dan teruslah mengatur strategi untuk
sekedar mengibarkan layar, mengambil alih kemudi, hingga berlayar kembali
menuju mutiara di ujung samudera sana. Bukankah pelaut yang handal terlahir
dari ombak, gelombang, dan badai yang besar.
Banyaknya amanah di masa sekarang itu wajar, bahkan akan
sangat membantu diri ini untuk lebih menyikapi kedewasaan. Jangan pernah
berfikir bahwa amanah itu adalah beban hingga membuat diri ini mengalami putus
asa yang berlebihan. Rasakan manfaatnya mengemban amanah itu, karenanya ia
bukan beban, namun lebih dari sekedar pelajaran bagi kita untuk menjadi sosok
yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar