18/12/12

“jangan pernah berlabuh, sebelum merasakan dahsyatnya badai”


Beranalogi sesaat tentang arti amanah, kepercayaan, mandat, atau apapun itu. Kali ini untuk mengungkapkannya, cukup berbicara sederhana tentang berlayar di laut lepas dengan perahu motor. Keadaan pelabuhan yang cukup stabil dengan tipe pasang surut normal, ombak dan gelombang yang tidak terlalu besar, dan koloni kapal yang merapat sempurna membuat raga seakan tak mau beranjak dari sana. Namun seiring deruan mesin kapal yang hendak kembali melaut membuat adrenalin dan pekik semangat itu semakin membara untuk ikut berlayar di dalamnya.
Di perjalanan, kita akan disuguhi dengan birunya laut dan langit yang sejuk di ufuk sana, kita akan terlena dengan pegunungan yang mengelilingi samudera, pulau-pulau kecil bak dewata, bahkan dengan kilauan surya yang menghangatkan suasana. Namun jangan begitu puas dengan keindahan maritim, karena berlayar ke lautan yang lebih jauh lagi dari daratan membutuhkan perjuangan yang begitu besar. Kita harus sudah siap dengan terpaan gelombang besar, ombak yang cukup kuat, gangguan organisme laut, bahkan dengan hadirnya badai atau tsunami yang dapat mebolak-balikkan kapal yang kita tumpangi.
Nah, hidup juga demikian. Kita cukup puas dengan masa kecil yang kaya segalanya. Kasih sayang orang tua, curahan perhatian yang berlebihan dari sanak saudara, hingga curahan materi yang tak ternilai harganya sudah cukup banyak kita rasakan di masa tersebut. Tidak salah lagi kalau setiap orang pasti sangat rindu dengan masa-masa tersebut bahkan tidak ingin melewatkan memori di dalamnya.
Seiring hadirnya lingkungan yang juga penuh dengan anak kecil seusia kita, membuat jiwa ini seakan merasuk sempurna ke raga-raga mereka. Jadilah pola pikir kita sedikit berubah usai mengimitasi laku mereka. Keinginan untuk mencari jati diri seiring bertambahnya usia, keinginan untuk lebih mendewasakan diri atau semacamnya, hingga upaya untuk terus berkarya membuat setiap orang begitu menikmati hidup. Hal itu semakin mendukung paradigma mereka bahwa hidup itu memang indah dengan berbagai fasilitas yang ada.
Namun apa jadinya jika hari ini, dengan kedewasaan yang sudah seharusnya terbangun dari jiwa setiap pemuda, namun malah melahirkan kejenuhan yang tiada tara oleh berbagai problema yang ada. Amanah yang cukup banyak dan terkadang menimbukan efek tidak konsisten, kepercayaan yang mungkin terabaikkan, bahkan mandat yang malah menjadi beban, membuat sebagian diantara kita merasa “down” dengan rihlah hidup ini. alih-alih, syukur pun terabaikkan pula karena saking depresinya dengan pikulan amanah yang dirasa tidak wajar lagi.
Hmm, bukankah saat ini kita telah berada di tengah lautan. Ngaku gentle? Jangan pernah berfikir untuk kembali ke pelabuhan di mana kita memulai ekspedisi ini. Wajar, bahkan sangat wajar andai deruan ombak, hempasan gelombang, bahkan terjangan badai terus-menerus mengombang-ambingkan kapal kita. Sekaranglah  saatnya berfikir untuk terus bergerak menuju samudera yang lebih dalam lagi, hingga kita merasakan kembali adrenalin yang terpacu sempurna. Andai memang benar-benar tidak dapat bergerak, buang jangkar ke dasar samudera, berdiamlah di antara dahsyatnya badai melalui sekelumit tawwakalmu, dan teruslah mengatur strategi untuk sekedar mengibarkan layar, mengambil alih kemudi, hingga berlayar kembali menuju mutiara di ujung samudera sana. Bukankah pelaut yang handal terlahir dari ombak, gelombang, dan badai yang besar.
Banyaknya amanah di masa sekarang itu wajar, bahkan akan sangat membantu diri ini untuk lebih menyikapi kedewasaan. Jangan pernah berfikir bahwa amanah itu adalah beban hingga membuat diri ini mengalami putus asa yang berlebihan. Rasakan manfaatnya mengemban amanah itu, karenanya ia bukan beban, namun lebih dari sekedar pelajaran bagi kita untuk menjadi sosok yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...