30/08/12

Perwalian yang Berkah


Berawal dari sebuah pesan singkat (Red. SMS) yang ku kirimkan kepada Bapak Prof. Hidayat Pawitan, dosen pembimbing akademikku terkait perwalian dan rencana studi. Tiba-tiba, beberapa menit kemudian sebuah balasan SMS masuk ke Inboxku. Bunyinya kira-kira begini “Temui saya di IPB Baranang Siang pukul 9 pagi ini”. sebuah jawaban pesan yang membuatku sangat tergesa-gesa. Saat itu sudah pukul setengah delapan pagi, aku belum mandi, belum persiapan form perwalian, hingga mempertimbangkan jarak kontrakanku dengan kampus IPB Baranang Siang yang harus naik angkot 2 kali plus macetnya yang super lama. Lalu, tanpa pikir panjang, aku segera bersiap dan segera meluncur ke sana. Hingga akhirnya, perasaan lega itu hinggap sempurna setelah aku sampai di kampus Baranang Siang yang tak lain adalah kampus Pasca sarjana setengah jam sebelum waktu bertemu yang telah dijanjikan oleh sang Profesor.
Berjalan ke sekeliling kampus sebentar, berbekal sok tau yang sebenarnya tidak tau sama sekali, aku kemudian melangkah masuk gedung Pasca sarjana yang super megah itu. Hingga akhirnya setelah berkomunikasi intens via sms dengan sang Profesor dan mendapat jawaban singkat di mana beliau sekarang, akhirnya aku naik ke lantai 2 gedung tersebut. Di sana aku melihat bapak Profesor telah duduk di sebuah lobi bersama seorang paruh baya juga. Setelah mengucap salam dan menjabat tangan mereka akhirnya aku duduk bersama mereka . Bapak Arsyad namanya, seorang paruh baya itu yang tidak lain adalah mahasiswa program doktor yang dibimbing juga oleh sang profesor. Nervous, grogi, dan berkeringat dingin, itulah yang ku rasakan saat berbincang dengan mereka. walaupun mereka mencoba untuk santai dan tetap mencairkan suasana, namun keringat ini tidak henti-hentinya menetes karena grogi tetap bersarang dalam diri ini.
Memulai prolog dengan mengadukan KRS ku, kemudian berbincang-bincang tentang latar belakang keluarga, hingga aktivitasku saat ini, aku mencoba untuk tetap tenang dan berusaha mengikuti “style” pembicaraan mereka yang menurutku berat dan terkadang sulit dicerna karena harus menganalisis terlebih dahulu. Sebuah kebiasaan ketika aku berbicara dengan seorang akademis, maka mereka akan melontarkan sebuah pernyataan yang kontroversial menurutku dan mereka akan melemparkan isu tersebut padaku hingga aku kebingungan dalam menjawab. Namun hal ini sungguh bermanfaat bagiku untuk lebih kreatif dalam melakukan “problem solving”, ataupun dalam sebuah pilihan.
Hingga kemudian setelah beberapa saat telibat dalam perbincangan hangat, sang profesor mengajakku dan Bapak Arsyad untuk berkeliling kampus Pasca sarjana yang baru kali ini aku masuki. Wah, aku begitu bersemangat untuk mengikuti suasana yang jarang-jarang bisa dilakukan ini. sang profesor selain menemani jalan-jalan itu, beliau juga memberikan penjelasan panjang lebar tentang kampus Pasca sarjana Baranang Siang. Setelah puas berkeliling akhirnya aku mohon diri kepada Profesor dan Bapak Arsyad untuk kembali ke kampus Sarjana, karena bapak Profesor juga akan kembali mengajar.
Setelah itu, rihlahku berlanjut pada perbincangan dengan Bapak Arsyad, yang ternyata beliau adalah dosen di Universitas Negeri Makassar. Berbincang tentang bagaimana aku dapat masuk ke Kampus ini dengan jalur beasiswa kementrian agama hingga prospek kerja nanti. “Mengapa tidak berencana jadi dosen saja, kamu berpotensi” beliau memotivasiku melalui sarannya. Aku hanya tersenyum simpul dan mengamini dalam hati. Hingga terakhir beliau memberikan kartu namanya padaku dan berharap aku dapat berkunjung ke rumahnya. Alhamdulillah, suatu berkah kalau seorang mahasiswa diberi kartu nama oleh seseorang yang menurutku telah menjadi orang. Bertambah sebuah silaturahmi, pikirku.
Setelah puas berkeliling dan menikmati atmosfer kampus pasca sarjana aku berencana pulang ke kampus dramaga, tempat mukimku sekarang. Sama seperti biasanya, aku naik angkot dan ternyata juga ditemani oleh guyuran hujan yang sudah menjadi rutinitas di kota hujan ini. Di angkot, kembali berjumpa dengan seorang Wanita Paruh Baya yang ternyata seorang warganegara asing, tepatnya ia berasal dari ceko. Perbincangan berawal dari saat ia bertanya nomor angkot, kemudian berlanjut ke “say hello” lalu membicarakan tentang kebudayaan masing-masing. Aku sedikit mengimbangi bahasanya yang belum terlalu lancar “pronounciation”nya.
Agar lebih “nyambung” dengan pembicaraan, aku mencoba mengingat kembali “ceko” di pikiranku. Namun ternyata ingatanku tentang “ceko” miskin sekali. Aku hanya ingat ceko dengan musim dinginnya hingga penduduknya harus memakai “palto” dan tentang kemajuan peternakannya. Itu saja. Hmm, untungnya ia mengiyakan pengetahuanku tentang ceko itu bahkan ia mengapresiasi pengetahuanku yang coba-coba itu. Hingga kemudian ia menjelaskan panjang lebar tentang ceko dan penduduknya. Satu hal yang membuatku prihatin sebagaimana penuturan ibu itu adalah bahwa kebanyakan penduduk ceko mengenal Indonesia adalah sebuah negara yang minim teknologi Informasi, namun ia mengakui bahwa sesungguhnya indonesia lebih maju dari negaranya setelah beberapa bulan ia bermukim di negeri beribu pulau ini.
Kemudian setelah bertanya banyak hal, sharing kebudayaan, dan sharing pengalaman, akhirnya aku harus berpisah dengan Ibu itu. Walaupun ibu itu bukan orang pribumi, namun ia begitu sopan. Setiap ia tidak mengerti maksud pembicaraanku, ia akan balik bertanya dengan didahului kata “maaf”. “nice to meet you madam”, gumamku dalam hati.
Hmm, akhirnya sampai juga di kampus Dramaga setelah seharian berkeliling kota. Untuk memenuhi janji tadi, segera ku kirim pesan singkat kepada Pak Arsyad untuk memberi tahu nomor teleponku. Rihlah yang berkesan menurutku, semoga bermanfaat untuk hari itu, hari-hari berikutnya, dan untuk masa depan nanti. Insyaallah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...