28/04/12

Secerca Pengabdian....


Pertama kali kuinjakkan kakiku di pelataran pondok Pesantren Al asyryah Nurul Iman, aku begitu asing dengan jalan setapak menuju asrama putra. Jalan tanah yang tidak beraspal itu membuatku malas melanjutkan testimoniku dalam rangkaian acara pengabdian zona barat cssmora regional. Waktu itu aku memakai sepatu putih, hingga bercak kekuning-kuningan bekas tanah yang sedikit becek menempel sempurna di sepatuku, namun itu tidak membuatku menghentikan langkah kecilku menuju pondok ini, karena aku semakin tidak sabar bertemu santri-santri nurul iman dengan berbagai kesederhanaan mereka seperti yang telah diperbicangkan banyak orang, aku pun belum tahu pasti tentang hal ini.
            Memasuki gerbang santri putra, sejenak aku menghentikan langkah, aku kaget dengan jumlah santri yang sangat banyak. Mereka semua beraktivitas, ada yang membaca kitab, mengepel mesjid, menyapu pelataran, ataupun sekedar benrcengkrama dengan sesama. Aku mulai berfikir, inilah kota santri sebenarnya. Dengan mengenakan sarung yang sudah mulai usang, baju koko yang kekecilan, dan peci yang sudah tidak beraturan lagi bentuknya, anak-anak kecil yang sudah menyandang gelar ‘santri’itu antusias menyambut kedatangan kami. Aku sendiri tidak tahu, apakah mereka menganggap kami seperti pejabat yang akan memberikan bantuan, atau relawan yang dermawan, atau guru yang akan selalu menyatu dengan jiwa-jiwa mereka. Namun yang jelas mereka sangat apresiatif dengan kedatangan kami.
Aku mulai melupakan kondisi sepatuku yang penuh dengan goresan-goresan kuning tanah becek, karena aku berfikir santri di nurul iman hanya memakai sandal jepit. Malu rasanya apabila aku harus mengadu kepada mereka akan kondisi sepatuku. Sejenak setelah itu, kusandarkan badanku di tiang masjid. Di depan sana terdapat makam abah, pemilik pesantren ini yang wafat sekitar setahun yang lalu. Di sekitar makam itu banyak santri yang mengirim doa kepada abah. Sungguh mulia abah itu. Pikirku.
“hei, ayo jalan” teman-teman satu rombongan denganku mengajakku berjalan menuju perpustakaan nurul iman untuk sekedar beristirahat dan meletakkan barang bawaan kami.
Dengan langkah gontai, aku masih terus melihat makam itu hingga samar-samar sudah tidak terlihat lagi akibat tertutupi oleh keramaian santri yang sedang beraktivitas. Sesekali santri itu menyapaku dengan senyuman, sapaan sopan, bahkan ada yang sampai mengajak berjabat tangan.
***
            Sholat jum’at kali ini begitu beda dengan biasanya. Kalau di kampus, aku terbiasa sholat jum’at dengan jumlah jamaah yang hanya mencapai seratus orang lebih, sekarang, aku menunaikan sholat jum’at bersama ribuan jamaah yang kesemuanya adalah santri. Kebanyakan mereka mengenakan baju koko warna putih dengan sarung di atas mata kaki, peci mereka tentu saja putih, namun akibat keseringan dipakai membuat busana yang mereka kenakan sedikit memudar dari warna aslinya. Kesederhanaan terpancar dari raut muka mereka.
            Sesaat setelah aku masuk ke masjid, ku lihat seorang anak kecil kira-kira berumur lima tahun tertidur pulas di lantai masjid dengan mendekap sebuah kitab kuning. Aku sungguh miris melihatnya, perasaan kasihan dan empatiku muncul tiba-tiba. Aku tidak tau apakah dia mendengkur atau tidak, yang jelas beberapa saat setelah itu seorang kakak kelas seumuranku yang juga notabenenya seorang santri di nurul iman membangunkan bocah tadi secara paksa. Aku hendak melarangnya, aku bahkan ingin berteriak pada laki-laki itu untuk menghentikan tindakannya.  Tapi aku segera sadar bahwa aku orang baru disini, lagi pula itu adalah sebuah peraturan di pondok pesantren nurul iman untuk tetap menegakkan kedisiplinan bagi seluruh civitas pondok tanpa terkecuali. Hmm, kekagumanku pada pondok ini semakin memuncak saja.
            Bocah tadi, ya, dia tetap tertidur pulas hingga sholat jum’at usai. Aku yakin dia sangat lelah hari itu. Ku perhatikan betul-betul, bajunya lusuh, sarungnya juga sudah demikian kumal, namun aku melihat kesucian hati dalam setiap alunan nafasnya. Hingga zikir usai, dia dengan tampang kebingungan bangun dari kepulasan tidur siang itu. Sesekali dia menoleh kearah sekitar, kemudian dengan langkah tergesa-gesa dia meninggalkan masjid dan beranjak menuju tempat wudhu.
            Belum usai perasaan trenyuhku pada bocah tadi, kini aku dialihkan oleh sebuah pemandangan aneh. Aku baru saja keluar dari masjid usai menjalankan shalat jum’at siang ini. Saat aku hendak mengambil sandal, tiba-tiba dari kejauhan ku lihat santri-santri seumuranku membawa bak besar yang di pikul, awalnya aku berpikiran bahwa mereka hendak membawa air untuk mengepel masjid, tapi anggapanku segera terdepak oleh kesaksianku pada bak-bak yang ternyata didalamnya berisi nasi untuk makan siang santri. Aku tidak bisa membayangkan betapa banyaknya nasi yang harus disediakan untuk makan siang saat itu. Kemudian setelah itu, aku melihat di dalam bak yang lain terdapat air yang ternyata itu adalah kuah untuk makan mereka. Awalnya aku beranggapan bahwa itu adalah air bekas pel masjid, karena secara sekilas tampak seperti air yang berwarna kecoklatan, kemudian untuk meyakinkan dugaanku aku bertanya pada salah seorang santri perihal air tersebut, ia menjelaskan panjang lebar bahwa air itu adalah kuah untuk menu makan siang mereka.
            Rasanya tidak cukup kata-kataku untuk menghiperbolakan kesederhanaan mereka, namun aku juga tidak ingin terlampau ulung dalam mendeskripsikan tindak mereka, toh baru beberapa hari aku hijrah di lingkungan islami itu. Ah, siang itu begitu berharga untuk ku lewatkan. Aku iri melihat anak-anak kecil yang hafal dengan lafadz zikir yang begitu panjang. Bahkan mereka begitu menghayati tiap lantunan zikir tersebut. Aku juga iri melihat kecekatan mereka saat waktu shalat tiba, mereka dengan sigap memasuki masjid dengan menenteng sandal jepit yang dibungkus dengan kantong plastik. Aku tak mencium wewangian bermerek yang sering dipajang di toko saat berdekatan dengan santri-santri itu, namun aku lebih mencium bau apek khas anak pondok. Tetapi sesungguhnya aku sangat nyaman bergabung dengan mereka, kedamaian sangat terasa, aku membandingkan saat aku berada di ruang kelas saat kuliah, suasana kelas begitu kompetitif, kadang sampai makan hati dibuatnya, namun ini jauh berbeda saat berada di pondok itu, aku puas disuguhi wisata rohani melalui kebiasaan mereka. Subhanallah..
***
            Rangkaian acara pembukaan program pengabdian zona barat sore itu dibarengi dengan acara pelantikan menwa STAINI nurul iman. Aku diantara teman-teman sesama mahasiswa program PBSB kemenag duduk bersila di atas sajadah yang biasanya digunakan untuk shalat, sedangkan santri-santri nurul iman duduk di atas keramik tanpa alas tepat di belakang kami. Awalnya aku canggung dengan keadaan yang agak aneh, masjid yang biasanya sebagai tempat shalat, kali ini dipakai sebagai tempat kegiatan yang harusnya dilakukan di ruang terbuka, kecanggunganku bertambah ketika di sela-sela kegiatan pembukaan ini, santri nurul iman menampilkan dance wanita, mirip dengan dance Boy Girl Bands. Tapi itu tidak membuatku terlalu kontra, karena inilah style mereka dengan segala kepercayaan diri mereka.
            Acara pembukaan berlangsung cukup khidmat, para pejabat kementrian agama turut menyaksikan prosesi pembukaan itu, terlebih bagi mahasantri cssmora zona barat termasuk aku yang begitu ambisius untuk dapat menyukseskan acara pengabdian ini. Walaupun acara pembukaan ini agak sedikit molor dari jadwal yang telah ditentukan, namun aku tak menemui sedikitpun kekecewaan dari wajah-wajah santri nurul iman, bahkan aku menyaksikan kesediaan mereka untuk rela duduk berlama-lama di atas lantai demi berlangsungnya acara ini. Tanpa konsumsi, ya mereka sedikitpun tidak mendapat air mineral selama acara berlangsung, sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk tetap hidup sederhana dengan berbagai fasilitas yang ada.
            Kekagumanku masih belum sirna tatkala seorang pimpinan pondok, umi waheeda yang begitu dihormati santri-santri nurul iman masuk ke masjid tempat acara pembukaan pengabdian itu dilaksanakan. Dengan iring-iringan tabuh gendang dan berbagai upacara penyambutan tamu-tamu besar khas nurul iman, umi waheeda memesuki masjid dengan diikuti jajaran kementrian agama RI. Walaupun usianya masih muda, namun jiwa kepemimpinan umi begitu terpancar di setiap langkahnya. Kharisma, kecantikan, dan akhlak menyatu dalam dirinya. Hmm, dapat menjadi contoh buat semua ibu-ibu nyai, pikirku. Saat beliau menyampaikan pidato di atas podium, seluruh hadirin dibuatnya terpana dengan kata-kata bijaknya, logat inggris, melayu, dan indonesia yang sangat kental tidak membuatku kesulitan memahami maksud pembicaraannya.

TO BE CONTINUED....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...