Pertama kali kuinjakkan kakiku di
pelataran pondok Pesantren Al asyryah Nurul Iman, aku begitu asing dengan jalan
setapak menuju asrama putra. Jalan tanah yang tidak beraspal itu membuatku
malas melanjutkan testimoniku dalam rangkaian acara pengabdian zona barat
cssmora regional. Waktu itu aku memakai sepatu putih, hingga bercak
kekuning-kuningan bekas tanah yang sedikit becek menempel sempurna di sepatuku,
namun itu tidak membuatku menghentikan langkah kecilku menuju pondok ini, karena
aku semakin tidak sabar bertemu santri-santri nurul iman dengan berbagai
kesederhanaan mereka seperti yang telah diperbicangkan banyak orang, aku pun
belum tahu pasti tentang hal ini.
Memasuki gerbang santri putra, sejenak
aku menghentikan langkah, aku kaget dengan jumlah santri yang sangat banyak.
Mereka semua beraktivitas, ada yang membaca kitab, mengepel mesjid, menyapu
pelataran, ataupun sekedar benrcengkrama dengan sesama. Aku mulai berfikir,
inilah kota santri sebenarnya. Dengan mengenakan sarung yang sudah mulai usang,
baju koko yang kekecilan, dan peci yang sudah tidak beraturan lagi bentuknya,
anak-anak kecil yang sudah menyandang gelar ‘santri’itu antusias menyambut
kedatangan kami. Aku sendiri tidak tahu, apakah mereka menganggap kami seperti
pejabat yang akan memberikan bantuan, atau relawan yang dermawan, atau guru
yang akan selalu menyatu dengan jiwa-jiwa mereka. Namun yang jelas mereka
sangat apresiatif dengan kedatangan kami.
Aku mulai melupakan kondisi sepatuku
yang penuh dengan goresan-goresan kuning tanah becek, karena aku berfikir
santri di nurul iman hanya memakai sandal jepit. Malu rasanya apabila aku harus
mengadu kepada mereka akan kondisi sepatuku. Sejenak setelah itu, kusandarkan
badanku di tiang masjid. Di depan sana terdapat makam abah, pemilik pesantren
ini yang wafat sekitar setahun yang lalu. Di sekitar makam itu banyak santri
yang mengirim doa kepada abah. Sungguh mulia abah itu. Pikirku.
“hei, ayo jalan” teman-teman satu
rombongan denganku mengajakku berjalan menuju perpustakaan nurul iman untuk
sekedar beristirahat dan meletakkan barang bawaan kami.
Dengan langkah gontai, aku masih terus
melihat makam itu hingga samar-samar sudah tidak terlihat lagi akibat tertutupi
oleh keramaian santri yang sedang beraktivitas. Sesekali santri itu menyapaku
dengan senyuman, sapaan sopan, bahkan ada yang sampai mengajak berjabat tangan.
***
Sholat jum’at kali ini begitu beda
dengan biasanya. Kalau di kampus, aku terbiasa sholat jum’at dengan jumlah
jamaah yang hanya mencapai seratus orang lebih, sekarang, aku menunaikan sholat
jum’at bersama ribuan jamaah yang kesemuanya adalah santri. Kebanyakan mereka
mengenakan baju koko warna putih dengan sarung di atas mata kaki, peci mereka
tentu saja putih, namun akibat keseringan dipakai membuat busana yang mereka
kenakan sedikit memudar dari warna aslinya. Kesederhanaan terpancar dari raut
muka mereka.
Sesaat setelah aku masuk ke masjid,
ku lihat seorang anak kecil kira-kira berumur lima tahun tertidur pulas di
lantai masjid dengan mendekap sebuah kitab kuning. Aku sungguh miris
melihatnya, perasaan kasihan dan empatiku muncul tiba-tiba. Aku tidak tau
apakah dia mendengkur atau tidak, yang jelas beberapa saat setelah itu seorang
kakak kelas seumuranku yang juga notabenenya seorang santri di nurul iman
membangunkan bocah tadi secara paksa. Aku hendak melarangnya, aku bahkan ingin
berteriak pada laki-laki itu untuk menghentikan tindakannya. Tapi aku segera sadar bahwa aku orang baru
disini, lagi pula itu adalah sebuah peraturan di pondok pesantren nurul iman
untuk tetap menegakkan kedisiplinan bagi seluruh civitas pondok tanpa
terkecuali. Hmm, kekagumanku pada pondok ini semakin memuncak saja.
Bocah tadi, ya, dia tetap tertidur
pulas hingga sholat jum’at usai. Aku yakin dia sangat lelah hari itu. Ku perhatikan
betul-betul, bajunya lusuh, sarungnya juga sudah demikian kumal, namun aku
melihat kesucian hati dalam setiap alunan nafasnya. Hingga zikir usai, dia
dengan tampang kebingungan bangun dari kepulasan tidur siang itu. Sesekali dia
menoleh kearah sekitar, kemudian dengan langkah tergesa-gesa dia meninggalkan
masjid dan beranjak menuju tempat wudhu.
Belum usai perasaan trenyuhku pada
bocah tadi, kini aku dialihkan oleh sebuah pemandangan aneh. Aku baru saja
keluar dari masjid usai menjalankan shalat jum’at siang ini. Saat aku hendak
mengambil sandal, tiba-tiba dari kejauhan ku lihat santri-santri seumuranku
membawa bak besar yang di pikul, awalnya aku berpikiran bahwa mereka hendak
membawa air untuk mengepel masjid, tapi anggapanku segera terdepak oleh
kesaksianku pada bak-bak yang ternyata didalamnya berisi nasi untuk makan siang
santri. Aku tidak bisa membayangkan betapa banyaknya nasi yang harus disediakan
untuk makan siang saat itu. Kemudian setelah itu, aku melihat di dalam bak yang
lain terdapat air yang ternyata itu adalah kuah untuk makan mereka. Awalnya aku
beranggapan bahwa itu adalah air bekas pel masjid, karena secara sekilas tampak
seperti air yang berwarna kecoklatan, kemudian untuk meyakinkan dugaanku aku
bertanya pada salah seorang santri perihal air tersebut, ia menjelaskan panjang
lebar bahwa air itu adalah kuah untuk menu makan siang mereka.
Rasanya tidak cukup kata-kataku
untuk menghiperbolakan kesederhanaan mereka, namun aku juga tidak ingin
terlampau ulung dalam mendeskripsikan tindak mereka, toh baru beberapa hari aku
hijrah di lingkungan islami itu. Ah, siang itu begitu berharga untuk ku
lewatkan. Aku iri melihat anak-anak kecil yang hafal dengan lafadz zikir yang
begitu panjang. Bahkan mereka begitu menghayati tiap lantunan zikir tersebut.
Aku juga iri melihat kecekatan mereka saat waktu shalat tiba, mereka dengan
sigap memasuki masjid dengan menenteng sandal jepit yang dibungkus dengan
kantong plastik. Aku tak mencium wewangian bermerek yang sering dipajang di
toko saat berdekatan dengan santri-santri itu, namun aku lebih mencium bau apek
khas anak pondok. Tetapi sesungguhnya aku sangat nyaman bergabung dengan
mereka, kedamaian sangat terasa, aku membandingkan saat aku berada di ruang
kelas saat kuliah, suasana kelas begitu kompetitif, kadang sampai makan hati
dibuatnya, namun ini jauh berbeda saat berada di pondok itu, aku puas disuguhi
wisata rohani melalui kebiasaan mereka. Subhanallah..
***
Rangkaian acara pembukaan program
pengabdian zona barat sore itu dibarengi dengan acara pelantikan menwa STAINI
nurul iman. Aku diantara teman-teman sesama mahasiswa program PBSB kemenag
duduk bersila di atas sajadah yang biasanya digunakan untuk shalat, sedangkan
santri-santri nurul iman duduk di atas keramik tanpa alas tepat di belakang kami.
Awalnya aku canggung dengan keadaan yang agak aneh, masjid yang biasanya
sebagai tempat shalat, kali ini dipakai sebagai tempat kegiatan yang harusnya
dilakukan di ruang terbuka, kecanggunganku bertambah ketika di sela-sela
kegiatan pembukaan ini, santri nurul iman menampilkan dance wanita, mirip dengan
dance Boy Girl Bands. Tapi itu tidak membuatku terlalu kontra, karena inilah
style mereka dengan segala kepercayaan diri mereka.
Acara pembukaan berlangsung cukup
khidmat, para pejabat kementrian agama turut menyaksikan prosesi pembukaan itu,
terlebih bagi mahasantri cssmora zona barat termasuk aku yang begitu ambisius
untuk dapat menyukseskan acara pengabdian ini. Walaupun acara pembukaan ini
agak sedikit molor dari jadwal yang telah ditentukan, namun aku tak menemui
sedikitpun kekecewaan dari wajah-wajah santri nurul iman, bahkan aku
menyaksikan kesediaan mereka untuk rela duduk berlama-lama di atas lantai demi
berlangsungnya acara ini. Tanpa konsumsi, ya mereka sedikitpun tidak mendapat
air mineral selama acara berlangsung, sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk
tetap hidup sederhana dengan berbagai fasilitas yang ada.
Kekagumanku masih belum sirna
tatkala seorang pimpinan pondok, umi waheeda yang begitu dihormati
santri-santri nurul iman masuk ke masjid tempat acara pembukaan pengabdian itu
dilaksanakan. Dengan iring-iringan tabuh gendang dan berbagai upacara
penyambutan tamu-tamu besar khas nurul iman, umi waheeda memesuki masjid dengan
diikuti jajaran kementrian agama RI. Walaupun usianya masih muda, namun jiwa
kepemimpinan umi begitu terpancar di setiap langkahnya. Kharisma, kecantikan,
dan akhlak menyatu dalam dirinya. Hmm, dapat menjadi contoh buat semua ibu-ibu
nyai, pikirku. Saat beliau menyampaikan pidato di atas podium, seluruh hadirin
dibuatnya terpana dengan kata-kata bijaknya, logat inggris, melayu, dan
indonesia yang sangat kental tidak membuatku kesulitan memahami maksud
pembicaraannya.
TO
BE CONTINUED....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar