Fenomena pencemaran udara (Air Pollution) telah membumi beberapa dekade terakhir di nusantara tercinta. Mendengarnya saja tidak menarik , apalagi jika kita harus berhubungan langsung dengan hal tersebut. Coba perhatikan di Jakarta dalam waktu yang sama (jam berangkat dan pulang kantor) semua kendaraan banyak menggunakan jalur yang sama, hasilnya macet dan banyak entropi dan gas yang dibuang mencemari udara. Tidak perlu jauh-jauh, lihatlah kota Bogor di siang hari dengan seribu angkotnya. Suara bising dan kepulan emisi karbon yang berasal dari knalpot kendaraan tersebut telah berhasil menyesakkan dada kita bukan?. Fenomena lain, kebakaran hutan di Sumatra menyebabkan udara di kota besar mengganggu kegiatan dan aktifitas sehari-hari. Akhirnya menjadi efek Domino, begitu di “Gapleh” kualitas udara sudah diambang batas membahayakan.
Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti. Pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh sumber-sumber alami maupun kegiatan manusia. Beberapa definisi gangguan fisik seperti polusi suara, panas, radiasi atau polusi cahaya dianggap sebagai polusi udara. Sifat alami udara mengakibatkan dampak pencemaran udara dapat bersifat langsung dan lokal, regional, maupun global.
Tingkat pencemaran udara di Indonesia semakin memprihatinkan. Bahkan salah satu studi melaporkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat polusi udara tertinggi ketiga di dunia. World Bank juga menempatkan Jakarta menjadi salah satu kota dengan kadar polutan/partikulat tertinggi setelah Beijing, New Delhi dan Mexico City. Polusi udara yang terjadi sangat berpotensi mengganggu kesehatan. Menurut perhitungan kasar dari World Bank tahun 1994 dengan mengambil contoh kasus kota Jakarta, jika konsentrasi partikulat (PM) dapat diturunkan sesuai standar WHO, diperkirakan akan terjadi penurunan tiap tahunnya. Bahkan yang sangat memprihatinkan lagi, dalam waktu dekat akan ada 1400 kasus kematian bayi prematur, 2000 kasus rawat di RS, 49.000 kunjungan ke gawat darurat, 600.000 serangan asma, 124.000 kasus bronchitis pada anak, 31 juta gejala penyakit saluran pernapasan serta peningkatan efisiensi dan 7.6 juta hari kerja yang hilang akibat penyakit saluran pernapasan – suatu jumlah yang sangat signifikan dari sudut pandang kesehatan masyarakat. Dari sisi ekonomi pembiayaan kesehatan (health cost) akibat polusi udara di Jakarta diperkirakan mencapai hampir 220 juta dolar pada tahun 1999.
Dari semua penyebab polusi udara yang ada, emisi transportasi terbukti sebagai penyumbang pencemaran udara tertinggi di Indonesia, yakni sekitar 85 persen. Hal ini diakibatkan oleh laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor yang tinggi. Sebagian besar kendaraan bermotor itu menghasilkan emisi gas buang yang buruk, baik akibat perawatan yang kurang memadai ataupun dari penggunaan bahan bakar dengan kualitas kurang baik (misalnya kadar timbal yang tinggi). Di samping ituKebakaran hutan dan industri juga turut berperan.
Dampak Pencemaran Udara Pada Kesehatan
Dari segi kesehatan, pencemaran udara dapat berakibat pada terganggunya kesehatan dan pertumbuhan anak-anak. Misalnya anemia. Memang, di masa pertumbuhan sel-sel darah merah terus diproduksi. Namun, karena masuknya timbal yang merupakan salah satu unsur penyebab pencemaran udara akan merusak sel darah merah, maka jumlahnya makin lama makin berkurang dan akhirnya anak menderita anemia. Selain itu, Timbal yang masuk ke dalam tubuh juga akan merusak sel-sel darah merah yang mestinya dikirim ke otak. Akibatnya, terjadilah gangguan pada otak. Hal yang paling dikhawatirkan, anak bisa mengalami gangguan kemampuan berpikir, daya tangkap lambat, dan tingkat IQ rendah. Dalam hal pertumbuhan fisik, keberadaan timbal ini akan berdampak pada beberapa gangguan, seperti keterlambatan pertumbuhan dan gangguan pendengaran pada frekuensi-frekuensi tertentu. Bagaimana kira-kira nasib anak Indonesia masa depan? Perlukah dijawab lebih detail lagi?
Sudah banyak studi yang dilakukan berkaitan dengan pencemaran timbal. Pada tahun 2001 anak-anak pernah dijadikan sampel riset dampak timbal. Dari sampel darah sebanyak 400 yang diambil dari siswa SD kelas II dan III di Jakarta, hasilnya sekitar 35 persen sampel ternyata memiliki kadar timbal dalam darah di atas normal. Angka ini berarti melebihi ambang batas kadar timbal pada tubuh anak-anak yang ditetapkan CDC (Center for Deseases Control and Prevention) yang hanya 10 mikrogram per desiliter. Mengerikan bukan?
Pada orang dewasa, timbal dapat mempengaruhi sistem reproduksi atau kesuburan. Zat ini dapat mengurangi jumlah dan fungsi sperma sehingga menyebabkan kemandulan. Timbal juga mengganggu fungsi jantung, ginjal, dan menyebabkan penyakit stroke serta kanker. Ibu hamil akan menghadapi risiko yang tinggi jika kadar timbal dalam darahnya di ambang batas normal. Timbal ini akan menuju janin dan menghambat tumbuh-kembang otaknya. Risiko lain adalah ibu mengalami keguguran.
Dampak Pencemaran Udara pada Lingkungan
Pencemaran udara dapat berdampak negatif pada keseimbangan lingkungan. Fotosistesis tumbuhan dapat terhambat akibat adanya tingkat pencemaran udara yang tinggi. Partikulat yang terdeposisi di permukaan tanaman dapat menghambat proses fotosintesis. Selain itu, dampak jangka panjang dari fenomena ini adalah adanya hujan asam karena banyaknya senyawa CO2 di atmosfer. Hujan asam ini dapat mempengaruhi kualitas air permukaan, Merusak tanaman, Melarutkan logam-logam berat yang terdapat dalam tanah sehingga mempengaruhi kualitas air tanah dan air permukaan, serta Bersifat korosif sehingga merusak material dan bangunan. Di samping itu, dampak yang sangat membahayakan kita semua ke depannya adalah adanya efek rumah kaca dan kerusakan lapisan ozon.
Apa tindakan yang perlu dilakukan?
Fenomena memprihatinkan ini perlu ditindaklanjuti lebih seksama lagi. Lalu apa peran kita sebagai peserta pembangunan Indonesia jangka panjang? Apakah kita hanya akan berpuas diri dengan menjadi penonton dan penikmat belaka? Jawabannya tentu saja tidak. Perlu adanya tindakan dari dalam diri kita untuk mencegah pencemaran udara agar lebih dapat diminimalisir.
Terdapat bermacam-macam tindakan baik dari pihak pemerintah maupun dari masyarakat luas yang tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Beberapa tindakan tersebut yang penulis rasa sangat urgent diantaranya adalah mengurangi jumlah mobil lalu lalang, selalu merawat mobil dengan seksama agar tidak boros bahan bakar dan asapnya tidak mengotori udara, meminimalkan pemakaian AC, pilihlah AC non-CFC dan hemat energi, meminimalkan penggunaan bahan kimia, sebisa mungkin menghindari menggunakan barang/produk dengan kemasan kecil (sachet) karena akan menambah jumlah sampah, memilih produk yang ramah lingkungan, membeli bensin yang bebas timbal (unleaded fuel), dan lain-lain.
Selain berbagai contoh di atas, pemerintah juga terus menggalakkan program-program terpadu. Diantaranya adalah program car free day yang bermanfaat dalam mengurangi dampak pencemaran udara. Di samping itu, tiap bulannya, Pemprov DKI menggelar pula Jakarta Great Clean dengan cara melakukan penutupan jalan-jalan atau kawasan-kawasan tertentu.
Pertanyaan saya, efektifkah pelaksanaannya? Sudahkah pemerintah melaksanakan tugasnya dengan bersih dan berkelanjutan? Sudahkah kita berperan di dalamnya?. Pertanyaan inilah yang sering muncul dalam menghadapi fenomena di negeri tropis kita tercinta ini. Alangkah mantapnya Indonesia kita ini apabila dampak timbal itu segera sirna. Ya, tinggal menunggu waktu saja.
Daftar Pustaka
Harian Kompas, 29 Juli 2009
http://io.ppi-jepang.org/10/09.htm
http://fbifm.com/fbi-news/10-fbi-inside-news/222-siaga-satu-untuk-polusi-udara-di-indonesia.html
http://mediaanakindonesia.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar