“Benarkah kamu masih sendiri?”
Lelaki itu mulai menuliskan beberapa potong kata, menjadi
satu kalimat tanya. Sangat membutuhkan jawaban, namun tanpa harus menjelaskan
panjang lebar, cukup dengan jawaban “iya” atau “tidak”. Sebagai manusia,
berharap ialah naluri. Maka ia berharap seseorang di sana menjawab singkat
“iya”.
Kemudian ia melanjutkan,
“kalau kamu masih sendiri, bolehkah aku menemui kedua orang tuamu? Atau paling tidak, bisakah aku berjumpa Ayahmu? Akan kusampaikan banyak hal. Semoga ayahmu berkenan. Jika menyimpan perasaan itu begitu sulit, maka kali ini untuk menyampaikannya aku harus melawan dua perasaan sulit. Sulit membebaskan dan sulit mengutarakan. Tapi semoga inilah waktunya.”
”Jika kamu bertanya nanti apa yang hendak kusampaikan, baiklah akan ku jelaskan sedikit di sini. Nanti akan ku utarakan bagaimana rasanya ketika kita berdua mampu bertemu kapanpun dan dimanapun, bertatap mata tanpa dosa, saling memuji sampai raut muka berseri-seri, dan... tidak hanya itu, akan ku sampaikan lebih tentang nikmatnya melengkapi ibadah satu sama lain.”
Apa yang dilakukan Lelaki itu? Ia berhenti menulis sejenak.
Kemudian perlahan-lahan ia kembali menuliskan maksudnya,
“Jika ada syarat yang kamu minta, sampaikan. Akan kuusahakan memenuhinya. Tapi aku tak mampu memenuhi syarat yang macam-macam atau berakibat dosa, sekalipun kecil. Sebab ini niatku, mendatangimu bersama kebaikan. Bersama perintah Tuhan.”
Lalu Ia bubuhkan nama lengkap di akhir surat singkat itu.
Kemudian dikirimkannya lewat surel. Berharap cepat sampai, berharap perempuan
itu lekas membaca kemudian membalas. Apa lagi yang diharapkan Lelaki itu? Ia
berharap perempuan yang dimaksud masih setia dengan kesendiriannya hingga hari
itu.
"Nikalah sebelum S2", pesan Ust. Rifa'i ketika beliau di madrasah, Masih ingatkah?
BalasHapus