“Mengapa berteduh, tidakkah engkau mempercepat langkah untuk
segera menjumpai seisi rumah?”. Tanyamu senja itu.
Hujan masih cukup deras untuk sekedar melangkah pulang
dengan gontai. Aku bukan tipe lelaki yang mudah mempercepat langkah,
bahkan untuk bergegas saja aku harus berfikir beberapa kali. Lebih mudah bagiku
menangkap keping inspirasi lewat butiran hujan daripada lewat langkah yang
cukup tergesa-gesa.
“tidak, hujan masih cukup deras.” aku hanya menjawab
sekenanya saja. Namun ia selalu faham dengan potongan kata yang kulontarkan. Karena
memang kita bertemu untuk sebuah hasrat memahami. Ekspresi diri tak harus
terlontar lewat sikap, terkadang kata-kata cukup untuk mewakilkan suasana.
“Pulanglah, biarlah basah sesaat, lagipula hujan tak begitu
bermasalah buatmu. Ada air hangat untuk mandi nanti.” Kamu melanjutkan.
Ada sejumput perasaan khawatir tiba-tiba. Adakah hal yang
mengharuskanku menembus butiran langit ini. Tak banyak yang bisa kuperbuat,
selain menunggumu berkata-kata lagi, namun sejenak hening tak bersuara. Adakah kamu
juga tengah berfikir di ujung sana?.
“ada apa?” pertanyaan pamungkas ini begitu hebat untuk
selalu ku lontarkan padamu setiap keheningan muncul di antara kita. Sejak pertama
kali bertemu, sejak awal-awal membersamaimu, hingga hari ini. Dua kata yang
membuatmu percaya bahwa akulah lelaki paling romantis menurutmu. Dua kata yang
membuatmu tetap mampu berpendapat, mengungkapkan kesah, dan banyak hal lain
tentang kita. Dua kata inilah yang setidaknya mampu mencairkan suasana dan
membuatku menjauh dari kesan otoriter.
“Tidak apa, hanya mengkhawatirkanmu.” Kamu menjawab singkat.
Tak seperti biasanya yang mengungkapkannya dengan beribu kata, bahkan pernah
berulang kali kamu merepetisi ungkapan-ungkapan itu. Namun kali ini hanya
sebatas kalimat saja, tak lebih.
Kemudian kumatikan telepon selular ini. Tanpa salam,
sebagaimana biasa ku lakukan untuk mengakhiri percakapan. Tanpa nasihat,
sebagaimana yang biasa kuberikan dan ku minta di akhir pembicaraan. Tanpa ungkapan
kerinduan. Ini terkesan kaku, bisu, dan mempercepat waktu.
Aku segera bergegas pulang, senja itu benar-benar basah.
Oktober yang cukup panjang dengan intensitas hujan yang begitu tinggi. Tak banyak
yang kufikirkan selain berusaha mempercepat langkah. Ada yang berbeda senja
itu, kamu yang tiba-tiba memaksaku pulang untuk tetap menembus hujan. Padahal hari-hari
sebelumnya kamu selalu melarangku pulang saat hujan. Bahkan pernah kamu
menjemputku secara sepihak untuk sekedar memayungiku pulang. Namun senja ini
begitu berbeda. Inikah seorang wanita dengan kekhawatiran yang tak selalu
mutlak, kekhawatiran yang selalu berbeda tiap harinya. Ah biarlah, selalu ada
kesan disetiap kekhawatiran seorang perempuan. Sejenak aku berhenti, namun
kemudian kulanjutkan kembali perjalanan basah senja itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar