04/11/13

"Khawatir"

“Mengapa berteduh, tidakkah engkau mempercepat langkah untuk segera menjumpai seisi rumah?”. Tanyamu senja itu.
Hujan masih cukup deras untuk sekedar melangkah pulang dengan gontai. Aku bukan tipe lelaki yang mudah mempercepat langkah, bahkan untuk bergegas saja aku harus berfikir beberapa kali. Lebih mudah bagiku menangkap keping inspirasi lewat butiran hujan daripada lewat langkah yang cukup tergesa-gesa.
“tidak, hujan masih cukup deras.” aku hanya menjawab sekenanya saja. Namun ia selalu faham dengan potongan kata yang kulontarkan. Karena memang kita bertemu untuk sebuah hasrat memahami. Ekspresi diri tak harus terlontar lewat sikap, terkadang kata-kata cukup untuk mewakilkan suasana.
“Pulanglah, biarlah basah sesaat, lagipula hujan tak begitu bermasalah buatmu. Ada air hangat untuk mandi nanti.” Kamu melanjutkan.
Ada sejumput perasaan khawatir tiba-tiba. Adakah hal yang mengharuskanku menembus butiran langit ini. Tak banyak yang bisa kuperbuat, selain menunggumu berkata-kata lagi, namun sejenak hening tak bersuara. Adakah kamu juga tengah berfikir di ujung sana?.
“ada apa?” pertanyaan pamungkas ini begitu hebat untuk selalu ku lontarkan padamu setiap keheningan muncul di antara kita. Sejak pertama kali bertemu, sejak awal-awal membersamaimu, hingga hari ini. Dua kata yang membuatmu percaya bahwa akulah lelaki paling romantis menurutmu. Dua kata yang membuatmu tetap mampu berpendapat, mengungkapkan kesah, dan banyak hal lain tentang kita. Dua kata inilah yang setidaknya mampu mencairkan suasana dan membuatku menjauh dari kesan otoriter.
“Tidak apa, hanya mengkhawatirkanmu.” Kamu menjawab singkat. Tak seperti biasanya yang mengungkapkannya dengan beribu kata, bahkan pernah berulang kali kamu merepetisi ungkapan-ungkapan itu. Namun kali ini hanya sebatas kalimat saja, tak lebih.
Kemudian kumatikan telepon selular ini. Tanpa salam, sebagaimana biasa ku lakukan untuk mengakhiri percakapan. Tanpa nasihat, sebagaimana yang biasa kuberikan dan ku minta di akhir pembicaraan. Tanpa ungkapan kerinduan. Ini terkesan kaku, bisu, dan mempercepat waktu.
Aku segera bergegas pulang, senja itu benar-benar basah. Oktober yang cukup panjang dengan intensitas hujan yang begitu tinggi. Tak banyak yang kufikirkan selain berusaha mempercepat langkah. Ada yang berbeda senja itu, kamu yang tiba-tiba memaksaku pulang untuk tetap menembus hujan. Padahal hari-hari sebelumnya kamu selalu melarangku pulang saat hujan. Bahkan pernah kamu menjemputku secara sepihak untuk sekedar memayungiku pulang. Namun senja ini begitu berbeda. Inikah seorang wanita dengan kekhawatiran yang tak selalu mutlak, kekhawatiran yang selalu berbeda tiap harinya. Ah biarlah, selalu ada kesan disetiap kekhawatiran seorang perempuan. Sejenak aku berhenti, namun kemudian kulanjutkan kembali perjalanan basah senja itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...