11/06/13

"Kita Adalah Hati yang Siap Ternantikan"

Jika ini cinta, mengapa harus terungkapkan. Jika ini menyoal kesejatian, mengapa harus tersampaikan. Bukankah menyimpan itu indah, sampai nanti rasa yang menjemput. Lalu kita berjalan di trotoar yang berbeda, menjadi pedestrian dengan anyir udara yang berbeda pula. Aku menjumpai bebatuan dengan logika, sedang engkau menemui rerumputan hijau dengan analogi rasamu. Kita berjalan sejajar, namun tak ada sepatah sajak yang terlontar, kita tiada membebaskan kata, hanya sesekali pandang, namun itu jauh dan tiada hasrat lebih selain melihat ke depan. Sesekali kita menghela nafas, sesekali membuka bekal, namun itu untuk melanjutkan perjalanan.


Jika ini cinta, mengapa harus tergadaikan dengan tatapan tiada henti. Jika ini sejati, mengapa harus menyatukan suasana. Kita semisal dedaunan yang tegar pada tangkai masing-masing. Ada saatnya jatuh, saatnya menguning, ah, itu semisal jatuh cinta. Lalu sesaat kita melayang di udara, bertangkup sejenak, lalu segregasi sesaat. Jatuh yang ku harapkan ketika daun itu telah menguning, mematangkan diri terlebih dahulu sesaat sebelum jatuh. Lalu kita tiada pernah meminta angin mematahkan ranting agar segera menjatuhkan, lalu kita tetap setia menanti sosok tepat waktu.

Jika ini cinta, mengapa kita terlalu membebaskan kendali. Jika ini kesejatian, mengapa harus larut dalam keraguan. Ini soal kepastian, kita bagian dari harapan, kita bagian dari do’a, bukankah setiap hati pasti saling mendo’akan, bukankah setiap hati pasti sejatinya menaruh harap. Hanya saja ada yang tersimpan dalam beningnya cawan dan ada yang terungkapkan melalui skenario peran. Pastikan kita adalah hati yang siap ternantikan.

2 komentar:

  1. subhanallah...nice..sanggat menggugah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih kak juli ana, semoga bermanfaat.. :)

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...