“Ia datang pagi-pagi benar
Bahkan di saat aku belum sempat merayapkan air wudhu subuh
Remang, sebab pelita tengah padam
Namun aku cukup mengenali raut, hingga meredam prasangka”
Duhai wanita yang mencoba tersenyum
Ia datang dengan keambiguan hati
Aku tak dapat mericau, itukah embun atau air mata
Yang membasahi pipi
Dulu ia pernah bercerita tentang embun, gutasi subuh
Embun yang menyejukkan dahaga
Embun yang mengisyaratkan masa
Ah, enggan untuk meniadakan
Biarkan terik yang menuntunnya pergi
Pagi itu, andai itu embun, maka tiada aku hendak menyekanya
Lalu tentang air mata
Pelarut perasaan, penghalau kecamuk, penenang suasana
Ah, terkadang wanita menebus bahagia dengan air mata
Aku tahu, yang ada di pelupuk dan pipinya itu bukan embun, namun air mata
Ia hanya menisbikan masa, mencoba berkilah tentang kabut subuh
Wanita yang tak berkenan menyentuhku, hanya mengamatiku
Wanita yang tak berkenan membangunkan, hanya menghidupkan pelita kembali
Wanita yang tak berkenan menyeka pipinya yang basah, hanya sesekali memalingkan muka
Karena wanita itu, adalah IBUKU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar