31/05/13

“Penerimaan”

“Yakinlah, sejatinya penerimaan itu tak hanya menengadah, namun harus menjiwai dan mengisi sisi kemudi.”

Suatu ketika seorang sahabat mengajakku berdiskusi tentang hakikat menyelami penerimaan. Awalnya ia takut menerima, ia khawatir dengan penerimaan, ia bahkan memilih sebuah penolakan andai penerimaan itu membuatnya lupa. Lupa bahwa sejatinya penolakan adalah penangguhan sebuah penerimaan.

Khawatir itu wajar, bahkan kita dituntut untuk takut, sebab penerimaan itu amanah, limpahan mandat yang tak bias lagi. Boleh saja menjadi sosok yang lebih khawatir, namun jangan sampai menjadi penerima yang takut bergerak, sebab penerimaan itu tak hanya menengadah, namun harus menjiwai dan mengisi sisi kemudi.

Ialah sebuah pintu dan kuncinya. Ketika sebuah kunci menjadi bagian dari penerimaan, lantas tidak cukup hanya dengan membuka pintunya, ruangan dalam itu adalah bagian lain dari penerimaan, maka sudah saatnya melabuhkan peran di dalamnya. Sebab penerimaan adakalanya sederhana, hanya sebatas ucap, atau mungkin isyarat, atau bahkan dalam bentuk mozaik yang terpecah, maka lengkapi ia dengan segenap usaha, kuatkan ia dengan do’a, sebagaimana interaksi seorang penghamba pada khalikNya.

Ialah sekisah air sungai dan api lentera. Untuk menghendaki penerimaan, lupakanlah analogi api lentera, sebab ia akan selalu mengikuti kemudi angin, terkadang redup seredup-redupnya, bahkan akan padam oleh hembusan riuh. Maka ingatlah hakikat air sungai, terkadang diamnya menghanyutkan, bahkan arusnya sanggup melicinkan bebatuan dasar.

Bergegaslah, penerimaan tak selamanya diterima.

Bersyukurlah, sebab adakalanya penerimaanmu tak lagi tertangguhkan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...