Aku rindu, masa beberapa tahun sebelum dua dasawarsa ini tertulis tepat di depan usiaku.
Ketika itu belia, ketika itu aku benar-benar menjadi si bungsu, menjadi adik yang penuh perhatian, menjadi anak dari bejibun aturan, bahkan lebih dari itu.
Aku rindu, ketika puasa tiba, ketika masa berbuka puasa tiba, ketika Ayahku memaksa untuk berbuka di Masjid bersamanya untuk sekedar mengumandangkan Adzan, dan saat itu aku benar-benar larut dengan keterpaksaan. Ketika tarawih tiba, Ibuku akan selalu mengawasi untuk tetap menjalankan sholat di antara makmum lainnya. Ketika Ayah Ibuku melarang keras membeli petasan, bahkan hanya menggantinya dengan beberapa batang kembang api yang membosankan. Ketika aku dilarang untuk ikut takbir keliling dengan tanpa alasan dari mereka.
Aku rindu, ketika musim pembagian hasil belajar siswa, aku pasti langganan menjadi bintang kelas waktu itu, ketika Ayah Ibuku tidak berlebih-lebihan dalam mengapresiasi dengan alasan sebagai cambuk untuk hasil di tahun berikutnya, ketika mereka menganggapku si bungsu yang biasa-biasa saja. Bahkan kakak-kakakku juga biasa dalam mengapresiasi, toh mereka lebih sering menyabet prestasi dari seorang aku. Ah, terasa lelah juga saat itu.
Aku rindu, ketika sakit tiba, aku bahkan menjadi anak pingit sejadi-jadinya. Ayahku akan selalu memaksa untuk membawaku pergi berobat ke dokter langganan, ibuku lebih sering lagi membuatkan teh pahit hangat, begitu juga kakak-kakakku yang tiba-tiba saja lebih perhatian. Kalau sakit tiba-tiba saja mereka jadi berubah drastis, hingga aku benar-benar menikmati rasa sakit tersebut.
Aku rindu, ketika lepas maghrib adalah masa mengaji, Ayahku akan berubah menjadi sosok yang super tegas dalam mengajarkan Qur-an, Ibuku juga demikian, ketika belajar adalah masa-masa sulit saat Ayah Ibuku mengajari sampai akar terkecil sekalipun. Perkalian menjadi bahan ajaran saat aku baru mengenal penjumlahan, majas menjadi bahan pelajaran saat aku baru mengenal kalimat peribahasa, begitu seterusnya. Aku rindu ketika mereka tidak memasukkanku ke tempat les manapun, namun berbekal pengetahuan mereka, aku akan selalu menjadi murid yang paling tersiksa setiap malam. Kedua kakakku? Mereka belajar dengan tentramnya di kamar masing-masing, sedangkan aku akan selalu di ruang tengah dengan Ayah Ibu dan sering sekali berakhir tangis saat lelah mulai menghinggapi.
aku rindu ketika masa-masa kerinduan itu muncul dan benar-benar dahsyat adanya. Ketika masa SMP tiba, mereka mengirimku ke SMP yang cukup jauh dari rumah, hingga aku menjadi anak kost untuk pertama kalinya. Ketika mereka tidak pernah mengunjungiku dalam waktu yang cukup lama.
Aku rindu, ketika ketegasan Ayah Ibuku mendidikku hingga aku tetap bertahan sampai hari ini, bimbingan dari kakak-kakakku yang cukup membuatku tegar hingga sekarang.
Sekarang, aku benar-benar merasakan kerinduan itu. Sekarang mereka benar-benar memberi kebebasan untukku dalam melakukan sesuatu. Apapun itu. Paling-paling ibuku yang selalu wanti-wanti kepadaku hingga hari ini untuk tidak pacaran. Ya, Insyaallah bisa kalau dengan yang satu itu.
Ayah Ibuku, ah, terlalu hebat mereka ketika harus ku ceritakan, sebab kerinduan membuncahkan segalanya, mereka tidak hanya orang tua, tidak hanya guru ngajiku, guru les yang super jenius, namun lebih dari itu. Kedua kakakku juga begitu, sekarang mereka telah sukses dengan perjuangan mereka dulu, lebih dari sekedar kakak, lebih dari sekedar sahabat, terkadang menjadi guru yang galak, terkadang otoriter, namun aku rindu suasana seperti itu.
Sekarang bahkan aku harus benar-benar malu ketika mereka tidak menghubungiku dalam beberapa hari dengan alasan takut mengganggu kesibukanku, bukan itu, lagipula mereka lebih dari kuliahku, lebih dari organisasiku, bahkan lebih dari sekedar keberadaanku di sini.
Sumber gambar:
http://armaininurjali.files.wordpress.com/2011/01/ank-alqran.jpg?w=540
Tidak ada komentar:
Posting Komentar